PENDAHULUAN
Tanggung jawab Sosial Perusahaan
atau Corporate
Social Responsibility (CSR)
adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya
(namun bukan hanya). perusahaan adalah memiliki berbagai
bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di
antaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam
segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan",
yakni suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya
harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek
ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden, tetapi juga harus menimbang
dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari keputusannya itu, baik untuk
jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih panjang. Dengan pengertian
tersebut, CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan
pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimisasi dampak
negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku
kepentingannya.
TEORI
Corporate Social Responsibility
Pengertian Corporate Social
Responsibility
Perusahaan merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat moderen, karena
perusahaan merupakan salah satu pusat kegiatan manusia guna memenuhi
kehidupannya. Selain itu, perusahaan juga sebagai salah satu sumber pendapatan negara
melalui pajak dan wadah tenaga kerja. Menurut Wibisono (2007: 37), perusahaan
merupakan lembaga yang secara sadar didirikan untuk melakukan kegiatan yang
terus-menerus untuk mendayagunakan sumber daya alam dan sumber daya manusia
sehingga menjadi barang dan jasa yang bermanfaat secara ekomonis.
Istilah CSR
mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin popular setelah kehadiran buku
cannibals with FORKS: The triple
Botton Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington
mengembangkan 3 komponen penting suistabinable
development, yakni economic
growth, environment protection dan social equity yang ditugaskan the world Commission On Environmental and development (WCED)
dalam brunrtland Report (1987), Elkington mengemas CSR dalam 3 fokus yakni 3P,
singkatan dari profit, planet dan
people (Wibisono, 2007: 46).
Perusahaan yang baik tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi belaka (profit)
melainkan pula memiliki kepedulian terhadap ketertarikan lingkungan (planet)
dan kesejahteraan masyarakat (people). Secara umum Corporate Social Responsibility merupakan peningkatan kualitas
kehidupan mempunyai adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota
masyarakat untuk menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat dinikmati,
memanfaatkan serta memelihara lingkungan hidup. Atau dengan kata lain merupakan
cara perusahaan mengatur proses usah untuk memproduksi dampak positif pada
komonitas atau citra yang baik. Salah satu definisi CSR Asia berbunyi “Corporate Social Responsibility adalah
komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip
ekonomi, social dan longkungan serasa menyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholders” (Ruslan: 1999).
Defenisi dari CSR itu sendiri telah dikemukakan oleh banyak pakar. Di antaranya
adalah defenisi yang dikemukan oleh Magnan & Ferrel (dalam Susanto, 2007:
53) yang mendefinisikan CSR sebagai : ”A
business acts in socially responsible manner when its decision and actions
account for and balance diverse stakeholder interest”. Defenisi ini
menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara seimbang terhadap
kepentingan berbagai stakeholder yang
beragam dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil para pelaku bisnis
melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab.
Sedangkan Komisi Eropa membuat defenisi yang lebih praktis yang pada dasarnya
adalah bagaimana perusahaan yang secara sukarela memberikan kontribusi bagi
terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih
(Susanto, 2007: 56). Sedangkan Elkington mengemukakan bahwa sebuah perusahaan
yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada
peningkatan kualitas perusahaan (profits);
masyarakat, khususnya komunitas sekitar (people);
serta lingkungan hidup (planet earth)
(Susanto, 2007: 56)
Philip Kotler (2007: 33), dalam buku CSR: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause, membeberkan beberapa alasan tentang
perlunya perusahaan menggelar aktivitas itu. Disebutkannya, CSR bisa membangun
positioning merek, mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar, meningkatkan
loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional, serta meningkatkan daya tarik
korporat di mata investor.
Menurut Godo
Tjahjono (2004: 63), CSR memang punya beberapa manfaat yang bisa dikategorikan
dalam empat aspek, yaitu: license to
operate, sumber daya manusia, retensi, dan produktivitas karyawan. Dari
sisi marketing, CSR juga bisa menjadi bagian dari brand differentiation. Kini kita menyaksikan dan mengharap
gairah perusahaan-perusahaan raksasa dunia untuk menerapkan program kepedulian
sosial. Semoga ini tak hanya jadi sekedar angin segar ditengah kekosongan issu
saja, melainkan mampu menjadi virus baik yang menyebar cepat di Indonesia.
Sedangkan
menurut Widjaja dan Pratama (2008), setidaknya ada tiga hal pokok yang
membentuk pemahama atau konsep mengenai CSR. Ketiga hal tersebut adalah :
- Bahwa sebagai suatu artiticial person, perusahaan
atau korporasi tidaklah berdiri sendiri dan terisolasi, perusahaan atau
perseroan tidak dapat menyatakan bahwa mereka tidak memiliki tanggung
jawab terhadap keadaan ekonomi , lingkungan maupun sosialnya;
- Keberadaan (eksistensi) dan
keberlangsungan (sustainability)
perusahaan atau korporasi sangatlah ditentukan oleh seluruh stake holders-nya dan bukan hanya
shareholders-nya. Para stakeholder ini, terdiri dari shareholder, konsumen, pemasok,
klien, costumer, karyawan
dan keluarganya, masyarakat sekitar dan mereka yang terlibat baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan (the local community and society at large );
- Melaksanakan CSR berarti
juga melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari perusahaan atau
korporasi, sebagai wadah untuk memperoleh keuntungan melalui usaha yang
dijalankan dan/atau dikelola olehnya. Jadi ini berarti CSR adalah bagian
terintegrasi dari kegiatan usaha (business),
sehingga CSR berarti juga menjalankan perusahaan atau korporasi untuk
memperoleh keuntungan.
Versi lain mengenai defenisi CSR
diberikan oleh World Bank.
Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai ”the commitment of business to contribute to sustainable economic
development working with employees and their representative the local community
and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for
business and good for development.” (yaitu komitmen bisnis dalam
memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan bekerjasama
dengan para pegawai dan melibatkan komunitas lokal serta masyarakat luas untuk
meningkatkan kualitas hidup, yang mana cara-cara ini baik untuk bisnis dan
pembangunan). CSR Forum juga memberikan definisi, “CSR mean open and transparent business practices that are based on
ethical values and respect for employees, communities and environment..”
(CSR berarti praktek bisnis yang terbuka dan transparan berdasarkan nilai-nilai
etis dan penghargaan bagi para pegawai, komunitas dan lingkungan). Sementara
sejumlah negara juga mempunyai defenisi tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) mengemukakan
bahwa, “CSR adalah suatu konsep dimana perusahaan mengintegrasikan keprihatinan
terhadap lingkungan dan sosial terhadap kegiatan bisnis dan interaksi mereka
dengan stakeholders mereka
berlandaskan dasar sukarela. (Wibisono, 2007 : 8)
Reza Rahman
(2009:13) mengemukakan sejumlah unsur yang menjadi tolak ukur CSR, yaitu:
- Continuity and Sustainability
Berkelanjutan dan
berkesinambungan merupakan unsur vital dari CSR. Suatu kegiatan amal yang
berdasar trend ataupun insidential, bukanlah CSR. CSR merupakan hal yang
bercirikan long term perspective
bukan instant, happening,
ataupun booming.
Kegiatannya terencana, sistematis dan dapat di evaluasi. Kegiatan yang
dilakukan corporat secara berkesinambungan dan berkelanjutan merupakan salah
satu cara untuk mencegah krisis melalui peningkatan corporate image.
- Community Empowerment
Pemberdayaan komunitas membedakan
CSR dengan kegiatan yang bersifat charity
ataupun philantrophy semata.
Tindakan-tindakan kedermawanan meskipun membantu komunitas ,tetapi tidak
menjadikan mandiri. Salah satu indikasi dari suksesnya sebuah program CSR
adalah adanya kemandirian yang lebih pada komunitas,dibandingkan dengan sebelum
program CSR hadir.
- Two Ways
Proses komunikasi yang dilakukan
dalam CSR, merupakan kampanye yang bersinergi dengan tindakan. Pendistribusian
informasi mengenai komitmen sosial melalui berbagai sarana, serta kefektifan
perusahaan mengkomunikasikan komitmen sosialnya kepada komunitas
Secara umum, Corporate Social Responsibility
merupakan peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemamupuan
manusia sebagai individu anggota komunitas untuk dapat menggapi keadaan sosial
yang ada dan dapat menikmati serta memanfatkan lingkungan hidup termasuk
perubahan-perubahan yang ada sekaligus memelihara, atau dengan kalta lain
merupakan cara perusahaan mengtur proses usaha untuk memproduksi dampak positif
pada suatu komunitas, atau merupakan suatu proses yang penting dalam pengaturan
biyaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari stakeholders baik
secara internal (pekerja, shareholders,
dan penanaman modal) maupun eksternal kelembagaan pengaturan umum,
angota-anggota komunitas, kelompok komunitas sipil dan perusahaan lain).
Jadi, tanggung
jawab perusahaan secara sosial tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor
saja, tetapi konsepnya sangat luasdan tidak bersifat statis dan pasif dan
statis, hanya dikeluarkan dari perusahaan akan tetapi hak dan kwajibanyang
dimiliki bersama antara stakeholders.
Konsep Corporate Social Responsibility
melibatkan tanggungjawab kemitraan antara pemerinta, lembaga, sumberdaya
komunitas, juga komunitas lokal (setempat). Kemitraan ini tidaklah bersifat
pasif atau statis. Kemitraan ini merupakan tanggungjawab bersama secara sosial
antara stakeholders
Standarisasi Pelaksanaan CSR di Indonesia
Pada tahun
2001, ISO-suatu lembaga internasional dalam perumusan standar atau pedoman,
menggagaskan perlunya standar tanggungjawab sosial perusahaan (CSR standard). Setelah mengalami diskusi
panjang selama hampir 4 tahun tentang gagasan ini, akhirnya Dewan managemen ISO
menetapkan bahwa yang diperlukan adalah Standar Tanggungjawab Sosial atau Social Responcibility Standard (ISO,
2005). CSR merupakan salah satu bagian dari SR. Tidak hanya perusahaan yang
perlu terpanggil melakukan SR tetapi semua organisasi, termasuk pemerintah dan
LSM.
Penerapan CSR
di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan
menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok,
dan stakeholders yang lain juga
telah terbukti lebih mendukung perusahaan yang dinilai bertanggung jawab
sosial, sehingga meningkatkan peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya.
Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan
kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan yang meningkat.
Ada empat
manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan mengimplementasikan CSR. Pertama,
keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan
citra (image) yang positif dari
masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital
(modal). Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang berkualitas.
Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang
kritis (critical decision making)
dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management).
ANALISIS
Analisis dan pengembangan
Ini yang menjadi perhatian terbesar
dari peran perusahaan dalam masyarakat telah ditingkatkan yaitu dengan
peningkatan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan dan masalah etika.
Masalah seperti perusakan lingkungan, perlakuan tidak layak terhadap karyawan,
dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidaknyamanan ataupun bahaya bagi
konsumen adalah menjadi berita utama surat kabar. Peraturan pemerintah pada beberapa negara mengenai lingkungan hidup dan permasalahan sosial semakin tegas, juga standar dan hukum seringkali dibuat hingga melampaui
batas kewenangan negara pembuat peraturan (misalnya peraturan yang dibuat oleh Uni
Eropa. Beberapa investor dan perusahaam manajemen investasi telah mulai memperhatikan kebijakan
CSR dari Surat perusahaan dalam membuat keputusan investasi mereka, sebuah
praktik yang dikenal sebagai "Investasi
bertanggung jawab sosial" (socially responsible investing).
Banyak pendukung CSR yang memisahkan
CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan baik" (atau kedermawanan
seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat
for Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial
merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan pada masa lampau seringkali
mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian beasiswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka
juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga
menciptakan suatu itikad baik di mata komunitas tersebut yang secara langsung
akan meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep
CSR, terutama triple bottom line,
perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial
di atas.
Kepedulian kepada masyarakat
sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat
dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam
sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi
dan komunitas. CSR bukanlah sekadar kegiatan amal, melainkan CSR mengharuskan
suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh
memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk
lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan
antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan
pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
|
“
|
"...dunia
bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi
paling berkuasa di atas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat mana
pun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama....setiap
keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam
kerangka tanggung jawab tersebut
|
|
|
“
|
"
CSR merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak
etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi
dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan
taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya".
|
Pelaporan dan pemeriksaan
Untuk menunjukkan bahwa
perusahaan adalah warga dunia bisnis yang baik maka perusahaan dapat membuat
pelaporan atas dilaksanakannya beberapa standar CSR termasuk dalam hal:
Laporan berdasarkan standar akuntabilitas sosial
internasional SA8000
Standar manajemen lingkungan berdasarkan ISO 14000
Di beberapa negara
dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh kesepakatan atas
ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam aspek sosial.
Sementara aspek lingkungan—apalagi aspek ekonomi—memang jauh lebih mudah
diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna memastikan
kebenaran laporan tahunan perseroan yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan
CSR atau laporan keberlanjutan (sustainability report). Akan tetapi laporan
tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan
(walaupun dalam suatu industri yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa
laporan ini hanyalah sekadar "pemanis bibir" (suatu basa-basi),
misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga perusahaan-perusahaan
rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep CSR dan metode verifikasi
laporannya, kecenderungan yang sekarang terjadi adalah peningkatan kebenaran
isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan (sustainability report) merupakan upaya untuk
meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku kepentingannya.
Alasan terkait bisnis (business case) untuk CSR
Skala dan sifat
keuntungan dari CSR untuk suatu organisasi dapat berbeda-beda tergantung dari
sifat perusahaan tersebut. Banyak pihak berpendapat bahwa amat sulit untuk
mengukur kinerja CSR, walaupun sesungguhnya cukup banyak literatur yang memuat
tentang cara mengukurnya. Literatur tersebut misalnya metode "Empat belas
poin balanced scorecard oleh Deming. Literatur lain misalnya Orlizty, Schmidt, dan Rynes[3] yang menemukan suatu
korelasi positif walaupun lemah antara kinerja sosial dan lingkungan hidup
dengan kinerja keuangan perusahaan. Kebanyakan penelitian yang mengaitkan
antara kinerja CSR (corporate social
performance) dengan kinerja finansial perusahaan (corporate financial performance)
memang menunjukkan kecenderungan positif, namun kesepakatan mengenai bagaimana
CSR diukur belumlah lagi tercapai. Mungkin, kesepakatan para pemangku
kepentingan global yang mendefinisikan berbagai subjek inti (core subject) dalam ISO 26000 "Guidance
on Social Responsibility"—direncanakan terbit pada September
2010—akan lebih memudahkan perusahaan untuk menurunkan isu-isu di setiap subjek
inti dalam standar tersebut menjadi alat ukur keberhasilan CSR.
Hasil Survei "The
Millenium Poll on CSR" (1999) yang dilakukan oleh Environics International
(Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader
Forum (London) di antara 25.000 responden dari 23 negara menunjukkan bahwa
dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis,
praktik terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, yang merupakan bagian
dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan. Sedangkan
bagi 40% lainnya, citra perusahaan & brand
image-lah yang akan paling memengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang
mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor finansial,
ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen.
Lebih lanjut, sikap
konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin
"menghukum" (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan
yang bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan
perusahaan tersebut.[4]
Secara umum, alasan
terkait bisnis untuk melaksanakan biasanya berkisar satu ataupun lebih dari
argumentasi di bawah ini:
Sumberdaya manusia
Program CSR dapat
berwujud rekruitmen tenaga kerja dan mempekerjakan masyarakat sekitar. Lebih
jauh lagi CSR dapat dipergunakan untuk menarik perhatian para calon pelamar
pekerjaan [5], terutama sekali dengan
adanya persaingan kerja di antara para lulusan. Akan terjadi peningkatan
kemungkinan untuk ditanyakannya kebijakan CSR perusahaan, terutama pada saat
perusahaan merekruit tenaga kerja dari lulusan terbaik yang memiliki kesadaran
sosial dan lingkungan. Dengan memiliki suatu kebijakan komprehensif atas
kinerja sosial dan lingkungan, perusahaan akan bisa menarik calon-calon pekerja
yang memiliki nilai-nilai progresif. CSR dapat juga digunakan untuk membentuk
suatu atmosfer kerja yang nyaman di antara para staf, terutama apabila mereka
dapat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang mereka percayai bisa mendatangkan
manfaat bagi masyarakat luas, baik itu bentuknya "penyisihan gaji",
"penggalangan dana" ataupun kesukarelawanan (volunteering) dalam bekerja untuk masyarakat.
Manajemen risiko
Manajemen risiko merupakan salah satu hal
paling penting dari strategi perusahaan. Reputasi yang dibentuk dengan susah payah
selama bertahun-tahun dapat musnah dalam sekejap melalui insiden seperti
skandal korupsi atau tuduhan melakukan
perusakan lingkungan hidup. Kejadian-kejadian seperti itu dapat menarik perhatian
yang tidak diinginkan dari penguasa, pengadilan, pemerintah dan media massa.
Membentuk suatu budaya kerja yang "mengerjakan sesuatu dengan benar",
baik itu terkait dengan aspek tata kelola perusahaan, sosial, maupun
lingkungan—yang semuanya merupakan komponen CSR—pada perusahaan dapat
mengurangi risiko terjadinya hal-hal negatif tersebut.
Membedakan merek
Di tengah hiruk pikuknya
pasar maka perusahaan berupaya keras untuk membuat suatu cara penjualan yang
unik sehingga dapat membedakan produknya dari para pesaingnya di benak
konsumen. CSR dapat berperan untuk menciptakan loyalitas konsumen atas dasar
nilai khusus dari etika perusahaan yang juga merupakan nilai yang dianut
masyarakat. Menurut Philip Kotler
dan Nancy Lee, setidaknya ada dua jenis kegiatan CSR yang bisa mendatangkan
keuntungan terhadap merek, yaitu corporate
social marketing (CSM) dan cause
related marketing (CRM). Pada CSM, perusahaan memilih satu atau beberapa
isu—biasanya yang terkait dengan produknya—yang bisa disokong penyebarluasannya
di masyarakat, misalnya melalui media
campaign. Dengan terus menerus mendukung isu tersebut, maka lama
kelamaan konsumen akan mengenali perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang
memiliki kepedulian pada isu itu. Segmen tertentu dari masyarakat kemudian akan
melakukan pembelian produk perusahaan itu dengan pertimbangan kesamaan
perhatian atas isu tersebut. CRM bersifat lebih langsung. Perusahaan menyatakan
akan menyumbangkan sejumlah dana tertentu untuk membantu memecahkan masalah
sosial atau lingkungan dengan mengaitkannya dengan hasil penjualan produk tertentu
atau keuntungan yang mereka peroleh. Biasanya berupa pernyataan rupiah per
produk terjual atau proporsi tertentu dari penjualan atau keuntungan. Dengan
demikian, segmen konsumen yang ingin menyumbang bagi pemecahan masalah sosial
dan atau lingkungan, kemudian tergerak membeli produk tersebut. Mereka merasa
bisa berbelanja sekaligus menyumbang. Perusahaan yang bisa mengkampanyekan CSM
dan CRM-nya dengan baik akan mendapati produknya lebih banyak dibeli orang,
selain juga mendapatkan citra sebagai perusahaan yang peduli pada isu tertentu.
Izin usaha
Perusahaan selalu
berupaya agar menghindari gangguan dalam usahanya melalui perpajakan atau peraturan. Dengan
melakukan sesuatu 'kebenaran" secara sukarela maka mereka akan dapat
meyakinkan pemerintah dan masyarakat luas bahwa mereka sangat serius dalam
memperhatikan masalah kesehatan dan keselamatan, diskriminasi atau lingkungan
hidup maka dengan demikian mereka dapat menghindari intervensi. Perusahaan yang
membuka usaha di luar negara asalnya dapat memastikan bahwa mereka diterima
dengan baik selaku warga perusahaan yang baik dengan memperhatikan
kesejahteraan tenaga kerja dan akibat terhadap lingkungan hidup, sehingga
dengan demikian keuntungan yang menyolok dan gaji dewan direksinya yang sangat
tinggi tidak dipersoalkan.
Motif perselisihan bisnis
Kritik atas CSR akan
menyebabkan suatu alasan yang, pada akhirnya, bisnis perusahaan dipersalahkan.
Contohnya, ada kepercayaan bahwa program CSR seringkali dilakukan sebagai suatu
upaya untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas masalah etika dari bisnis
utama perseroan.
TINJAUAN KASUS
Beberapa permasalahan atau kasus CSR yang
melibatkan PT Freeport Indonesia dan dipublikasikan oleh beberapa media di
tanah air antara lain:
- Biaya CSR kepada sedikit
rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak
mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar
lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta
punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya
reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh
turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi
Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah
barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang
terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran
tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap
pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global. (sumber : https://www.scribd.com/doc/234613592/Pelanggaran-Hukum-Dan-Etika-Bisnis-PT-Freeport-Indonesia)
- Keberadaan tambang emas
terbesar di dunia yang berada di Papua sama sekali tidak memberikan
keuntungan pada masyarakat sekitarnya. Freeport sebagai pengelola hanya
‘menyuap’ masyarakat dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility)
atau dana bantuan dan bina lingkungannya. Salah satu anggota DPR yang
tergabung dalam tim pemantau Otonomi Khusus Aceh dan Papua, Irene Manibuy
mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR. Papua
butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk pengelolaan.
“Jangan kami hanya dikasih CSR Rp
1,3 triliun, jangan hanya CSR berdasarkan dividen hanya 1 persen dari
pendapatan kotor. Kami butuh share dan mengatur sendiri pembangunan di sana,
daerah kami,” ucap Irene dalam rapat bersama pemerintah di DPR, Senayan,
Jakarta, Jumat (5/7).Jika saja pemerintah pusat memperjuangkan hak-hak Papua
dalam Freeport maka pemerintah pusat tidak harus pusing memikirkan pembangunan
Papua. Papua bisa mandiri dalam membangun daerahnya. “Pemerintah pusat tidak
akan berat menghidupi kami,” katanya.
Bukan hanya
masalah Freeport, Irene juga menyentil pemerintah pusat yang tidak pernah
memperhatikan kesehatan masyarakat di Papua. “Kami di Papua tidak punya rumah
sakit rujukan, seperti di sini ada pondok indah, MMC yang berstandar
internasional. Jadi orang Papua berobat ke Jakarta dan ini kembali lagi
pemasukan untuk Jakarta, dan untuk Papua tidak ada,” tutupnya. (sumber: http://www.merdeka.com/uang/rakyat-papua-butuh-kelola-tambang-bukan-csr-freeport.htm)
- Sejak 1967 hingga kini, PT Freeport menikmati
hasil kekayaan alam di bumi cenderawasih, Papua. Perusahaan tambang yang
berafiliasi ke Freeport-McMoRan yang bermarkas di Amerika
Serikat itu tak henti menambang emas, perak, dan tembaga.Selama hampir
setengah abad kehadiran Freeport di tanah Papua terus menerus
memunculkan pelbagai masalah. Mulai dari setoran ke negara yang dinilai
masih sangat rendah, hingga pelbagai alasan menyiasati larangan ekspor
bahan mentah.
Permasalahan yang
menyangkut Freeport tidak hanya soal setoran ke negara, tapi juga
soal ketenagakerjaan dan peran perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat
Papua. Sejauh ini, hanya sebagian kecil karyawan Freeport yang
berasal dari warga Papua. Hal itu diakui sendiri oleh
petinggi Freeport Indonesia.
Presiden
Direktur PT Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto mengatakan, hanya
sekitar 30 persen sampai 36 persen pekerjaFreeport yang merupakan warga
Papua.”Dari 31.000 pekerja, sekitar 30-36 persen warga Papua,” kata Rozik di
Jakarta Convention Center, Rabu (22/1).Diakuinya, Perseroan telah didesak untuk
menambah jumlah pekerja yang berasal dari Papua. Setidaknya hingga 45 persen
dalam waktu lima tahun ke depan. Desakan tersebut berasal dari Dewan
Pertimbangan Presiden (Watimpres).”Seharusnya kata dia 100 persen, bukan 30 persen,”
imbuh Rozik.Dia berdalih, Freeport memiliki standar kualitas pekerja
yang harus dipenuhi oleh siapapun yang berminat untuk bekerja
di Freeport . Rozik beralibi telah memprioritaskan warga setempat
untuk menempati posisi pekerja di perusahaan penambang emas dan tembaga
tersebut.
Rendahnya
peran Freeport pada warga Papua pernah diutarakan oleh salah satu
anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau otonomi khusus Aceh dan
Papua, Irene Manibuy. Dia mengkritik peran Freeport hanya sebatas CSR
saja. Irene mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR
dari Freeport . Papua butuh memperoleh komposisi
saham Freeport untuk pengelolaan. “Jangan kami hanya dikasih CSR Rp
1,3 triliun, jangan hanya CSR berdasarkan dividen hanya 1 persen dari pendapatan
kotor. Kami butuh share dan mengatur sendiri pembangunan di sana, daerah kami,”
ucap Irene beberapa waktu lalu. Lembaga swadaya Kontras dua tahun lalu pernah
melansir laporan fasilitas pekerja Freeport di lokasi tambang yang
sangat memprihatinkan. Misalnya kamar karyawan yang kecil, tapi diisi lima
sampai enam orang. Pekerja pun kerap mengeluh, lantaran remunerasi pegawai
Indonesia tidak sama dengan sistem yang
diterapkan Freeport-McMoRan di AS atau negara lain. Di
cabang Freeport lain, upah karyawan berkisar USD 20-230 per jam.
Sedangkan di Indonesia, sempat hanya USD 3 per jam. (sumber: http://theglobejournal.com/sosial/csr-freeport-tak-sejahterakan-masyarakat-papua/index.php)