Selasa, 27 Desember 2016

Penataan Kawasan dan Etika Bisnis

Pada dasarnya, setiap pelaksanaan bisnis seyogyanya harus menyelaraskan proses bisnis tersebut dengan etika bisnis yang telah disepakati secara umum dalam lingkungan tersebut. Sebenarnya terdapat beberapa prinsip etika bisnis yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap bentuk usaha.
Sonny Keraf (1998) menjelaskan bahwa prinsip etika bisnis adalah sebagai berikut :
¬ Prinsip Otonomi ; yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
¬ Prinsip Kejujuran ; terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
¬ Prinsip Keadilan ; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai criteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
¬ Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual Benefit Principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
¬ Prinsip Integritas Moral ; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan atau orang-orangnya maupun perusahaannya.
Kasus penataan pedagang kaki lima tersebut dikaitkan dengan teori etika sebagai berikut:
1. Dalam teori egoisme etis, yang menjadi alasan sebuah tindakan dilakukan hanya berdasarkan keyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan diri yang menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri pula (menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain). Berdasarkan hal tersebut, penataan PKL dapat dikatakan etis, karena dalam hal ini menguntungkan masyarakat, namun merugikan PKL.
2. Dalam teori utilitarianisme, suatu perbuatan dikatakan etis jika membawa manfaat, dan manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat secara keseluruhan. Utilitarianisme juga merupakan kondisi umum untuk beberapa pandangan yang memegang tindakan dan kebijakan yang harus dievaluasi atas dasar analisis manfaat dan biaya
3. Dalam teori deontologi, yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Deontologi mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau dari akibat dari tindakan tersebut. Penataan PKL merupakan Ini adalah upaya guna mengamankan kebijakan Pemkab Banyumas dalam penataan kota, dimana salah satunya dengan cara sterilisasi para PKL yang berjualan di ruas jalan dan trotoar. Sehingga menurut teori ini penataan PKL dikatakan etis.
4. Dalam teori hak, hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Penataan PKL dalam satu sisi merupakan upaya untuk memperoleh hak pejalan kaki untuk dapat berjalan di trotoar dengan nyaman. Sehingga berjualan di trotoar yang dilakukan oleh PKL merupakan tindakan yang melanggar HAM. Sehingga penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP merupakan salah satuu cara untuk memfungsikan kembali trotoar dan badan jalan. Dapat disimpulkan menurut teori ini tindakan penertiban dapat dikatakan etis.
5. Teori ini tidak lagi mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat dari pernyataan mengenai sifat-sifat atau karakter yang harus dimiliki seseorang agar bisa disebut sebagai manusia utama, dan sifat-sifat atau karakter yang mencerminkan manusia hina. Penataan PKL merupakan tindakan untuk menertibkan dan memfungsikan trotoar dan badan jalan sebagaimana fungsinya. Sehingga tindakan yang dilakukan oleh Satpol PP merupakan tindakan yang etis.
6. Dalam teori keadilan, penataan PKL dianggap etis jika penataan PKL itu didasarkan pada pemenuhan kepentingan kedua belah pihak. Selain untuk memenuhi kepentingan dari pejalan kaki dan pengguna lalu lintas, pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan dari PKL untuk memperoleh solusi atas adanya penataan tersebut (seperti relokasi tempat yang baru).

Solusi yang bisa dilakukan pemerintah dalam upaya menertibkan dan menata PKL, antara lain adalah Memberi penyuluhan dan sosialisai mengenai cara berjualan dan berdagang dengan cara dan di situasi/tempat yang tepat. Adanya pihak ketiga untuk melakukan mediasi antara pemerintah dan pihak pedagang PKL sehingga kesepatakan pemindahan relokasi PKL dapat sepakati.
Penambahan jumlah PKL yang ada Di Kota Surabaya tanpa adanya pengawasan dari pemerintah membuat para pedagang menggelar barang dagangannya ditempat-tempat dan disarana-sarana umum yang dapat mengganggu ketertiban. Harus ada pengawasan dan tindakan yang lebih responsif kepada para PKL baik dari masyarakat dan pemerintah terkait lokasi tempat berjualan mereka. Selain itu para PKL seharusnya menggunakan tempat-tempat yang sebenranya sudah disediakan oleh pemda Sentra PKL yang Sudah disediakan di Kota Surabaya Seperti SEntra PKL Gunung Sari, Gayungan , Darma Wangsa dan Wiyung

sumber: http://kipri.mhs.narotama.ac.id/2015/01/08/prinsip-etika-bisnis-dalam-pkl/

Jumat, 16 Desember 2016

Pencemaran Dalam Berbisnis



PT. Megasari Makur adalah perusahaan yang memproduksi produk sepeti tisu basah, pengharum ruangan dan juga obat anti-nyamuk. Bermula pada tahun 1996, yang berproduksi di daerah Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. Obat anti-nyamuk yang diproduksi di beri merek HIT, HIT mengenalkan dirinya sebagai obat nyamuk yang murah dan lebih tangguh. Selain di indonesi HIT juga mengekspor produknya keluar Indonesia. Obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia. Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung. HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006. Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT. Masalah yang juga muncul adalah timbulnya miskomunikasi antara Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal ini menjadi kewenangan Mentri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini menjadi tanggung jawab BPOM. Namun Kepala BPOM periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat anti-nyamuk harus terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM. Tetapi pada kenyataannya, selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan. Deptan akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas terjadi lempar masalah dan kewenangan di antara instansi-instansi tersebut. 3.2 Analisis Kasus Pada contoh kasus diatas ditemukan bahwa HIT menggunakan zat berbahaya untuk membuat obat anti-nyamuk, zat yang digunakan adalah Propoxur dan Diklorvos pada produk obat anti-nyamuk yang dibuat oleh PT. Megasari Makmur. Zat berbahaya tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Seharusnya kejadian ini tidak perlu terjadi bahkan samapai menimbulkan korban jiwa, karena sudah ada undang-undang yang mengatur hak konsumen yaitu UU No.8 tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen. Larangan penggunaan Diklorvos untuk pestisida dalam rumah tangga juga telah dikeluarkan Deptan sejak awal tahun 2004 (Sumber: Republika Online). Hal ini dapat memperjelas bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam melindungi masyarakat umum sebagai konsumen. Para produsen masih bisa menciptakan produk baru dan dengan mudahnya memasarkannya tanpa ada penyeleksian yang ketat terlebih dahulu dari pihak pemerintah. Dilihat dari undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Obat anti-nyamuk HIT menyalahi beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU tersebut. Berikut beberapa pasal dalam undang-undang Perlindungan Konsumen yang dilanggar oleh PT. Megasari Makmur sebagai penghasil obat anti-nyamuk: 1. Pasal 4, hak konsumen adalah: Ayat 1: “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa”. Ayat 3: “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa”.
PT. Megasari Makmur tidak memberi penjelasan dalam efek samping penggunaan obat anti-nyamuk, tentang bagaimana zat-zat yang terkandung didalam obat tersebut. HIT hanya memikirkan bagaimana mereka memproduksi obat anti-nyamuk ini tanpa memikirkan kesehataan konsumennya.
2. Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah: Ayat 2: “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.
PT. Megasari Makmur tidak memberitahukan dengan benar tentang indikasi yang terdapat pada obat anti-nyamuk HIT ini, bagaimana cara menggunakannya. Sehingga konsumen dengan pengetahuannya yang minim menyemprotkan begitu saja HIT tersebut ke ruangannya dan langsung menggunakan ruangan tersebut tanpa mendiamkan setengah jam atau lebih agar zat yang terkandung dalam obat anti-nyamuk itu bekerja.
3. Pasal 8: Ayat 1: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ayat 4: “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran”.
PT. Megasari Makmur melanggar 2 ayat diatas, mereka tetap mengedarkan produknya padahal sudah mengetahui produknya belum memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. HIT ditarik dari peredaraan setelah jatuh korban, seharusnya dapat dicegah sebelum korban berjatuhan.
4. Pasal 19: Ayat 1: “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Ayat 2: “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ayat 3: “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”.
PT. Megasari Makmur harus bertanggung jawab atas kelalaiannya yang dibuatnya, dengan memberi ganti rugi kepada korban yang mengalami kerugian atas penggunaan HIT. Dengan memberikan santunan yang setara.

Kecurangan Dalam Bisnis

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah studi yang mempelajari tentang cara-cara yang digunakan untuk melakukan suatu kegiatan bisnis yang mencakup seluruh aspek dan norma-norma yang berlaku dalam perusahaan,individu maupun masyarakat. Hal ini mencakup tentang bagaimana memulai bisnis yang baik,berlaku adil sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.
Contoh kasus kecurangan pada praktek bisnis :
Peredaran Daging Tiren Makin Marak

SUARA MERDEKA- Sekarang tingkat persaingan bisnis semakin ketat sehingga membuat orang nekat berbuat nakal demi mendapatkan keuntungan sebesar-be­sarnya. Bentuk kecurangan itu dilakukan dengan berbagai cara, misalnya menjual daging bangkai atau tiren, mi maupun tahu dicampur bahan formalin.
Cara yang paling gampang dan mendapat untung besar adalah dengan menjual bangkai ayam atau tiren. Awalnya di daerah Bantul banyak penjual tiren. Namun berkat kesiapan petugas dan instansi terkait, kasus itu terungkap. Seperti yang pernah dilaku­kan aparat Pemerintah Kabupa­ten Bantul, misalnya, beberapa waktu lalu berhasil mengung­kap penjualan daging tiren di Pedu­kuhan Cepoko Jajar, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
Ketika itu Satpol PP, mendapat informasi dari masyarakat di daerah itu ada penjual daging tiren. Kemudian operasi digelar Dinas Pertanian dan Kehutanan beserta Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Kesehatan. Dari hasil operasi itu, mereka berhasil menemukan sekitar 150 kg daging ayam bangkai siap jual. Kepala Satpol PP Kandiawan menyatakan, informasi ini didapatkan dari warga dan langsung ditindaklanjuti intelijen. Setelah memastikan informasi tersebut, pihaknya langsung berkoordinasi dengan dinas terkait untuk melakukan tindakan. ”Kami juga melibatkan petugas dari dinas kesehatan dan peternakan untuk melakukan penggerebekan lokasi ini,” ujarnya, kemarin.
Dalam operasi itu, pihaknya selain menemukan puluhan ekor ayam bangkai juga menyita beberapa bakso dan daging ayam tiren matang dan siap jual. Dari pengakuan pelaku biasanya mendapat setoran ayam mati dari oknum penjual ayam, rata-rata 10 sampai 20 ekor setiap harinya. Ayam yang sudah mati atau bangkai itu, kemudian mereka sembelih dan kemudian dimasak. Daging ayam tiren itu, ada yang dijual mentah, tapi ada yang dibuat bakso ayam, ada juga yang dibuat ayam goreng. Mereka menjual barang haram itu ke pasar-pasar tradisional, seperti di Pasar Prambanan, Wonosari, dan Bantul.
Kepada petugas, pelaku berinisial S itu mengaku sudah lama melakukan praktik ini. ”Ini sudah meresahkan warga, maka harus ditindak tegas,”ujar­nya. Sementara itu, Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Kehutanan Sri Budoyo mengatakan, meski disimpan dalam lemari pendingin, daging ayam bangkai tetap tidak layak untuk dikonsumsi dan membahayakan jika dikonsumsi. Selain jaringannya sudah rusak, daging ayam bangkai akan berimbas buruk pada kesehatan manusia. ”Daging itu sudah tidak sehat karena sudah membusuk,” katanya.
Petugas selanjutnya membawa semua daging ayam bang­kai tersebut untuk dimusnah­kan. Untuk menjerat para pelaku ini, kemudian mereka diancam atau dikenai UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dengan ancaman hukuman penjara lima tahun.
Analisis :
Dari kasus tersebut di atas dapat dilihat bahwa adanya praktek kecurangan yang dilakukan oleh pedagang ayam/daging nakal. Dengan dijualnya daging/ ayam tiren kepada konsumen sangatlah berakibat fatal bagi kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya dan berakibat jangka panjang.
Selain itu, dilihat dari etika bisnis praktek kecurangan tersebut sangat bertentangan dengan ajaran agama.Dikatakan dalam norma dan ajaran agama Islam dijelaskan bahwa segala kegiatan memperdagangkan atau mengkonsumsi ayam/daging tiren sangatlah diharamkan, karena ayam yang sudah mati disebut dengan bangkai, maka sangatlah diharamkan. Mungkin bagi sebagian konsumen yang belum mengetahui perlu mewaspadai praktek kecurangan tersebut demi terjaganya kesehatan.
Sebaiknya, apabila konsumen ingin membeli ayam yang lebih terjamin di tempat pemotongan ayam yang sudah terjamin kualitas dan kesegaran ayam yang dijual dan dapat kita lihat langsung bahwa ayam tersebut benar-benar baru dipotong dan bukan ayam bangkai atau ayam tiren. Selain itu, waspadai apabila ingin mengkonsumsi daging olahan yang telah berbentuk makanan siap saji, karena daging tiren tidak hanya berbentuk mentah tetapi juga berbentuk makan siap saji. Bagi pelaku pedagang ayam tiren yang curang perlu dituntaskan sampai selesai dan ditindak pidana sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga tidak meresahkan warga untuk mengkonsumsi ayam atau daging lagi.
Sumber :
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/11/28/167890/Peredaran-Daging-Tiren-Makin-Marak

Sabtu, 29 Oktober 2016

Produk Yang Tidak Memiliki Etika Bisnis


Pendahuluan
            Dengan perkembangan teknologi masa sekarang, produk suatu perusahaan dipasarkan melalui banyak cara salah satunya iklan. Iklan satu produk sangat menunjang untuk berhasil atau tidaknya produk tersebut dijual dipasar. Dalam dunia bisnis, iklan merupakan satu kekuatan yang dapat digunakan untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Penekanan utama iklan adalah akses informasi dan  promosi dari pihak produsen kepada konsumen. Sebagai media, baik yang berupa visual atau oral, iklan jenis punya tendensi untuk mempengaruhi khalayak umum untuk mencapai target keuntungan. Iklan pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang dimaksudkan untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen, dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen. Sasaran akhir seluruh kegiatan bisnis adalah agar  barang yang telah dihasilkan bisa dijual kepada konsumen. Secara positif iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan barang dapat dijual kepada konsumen.

Teori
             Menurut Thomas M. Garret, SJ, iklan dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang lewatnya pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau memengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap idea-idea, institusi-institusi tau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut. Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis. Keuntungan dari adanya iklan yaitu :
1.      Adanya informasi kepada konsumen akan keberadaan suatu produk dan “kemampuan” produk tersebut. Dengan demikian konsumen mempunyai hak untuk memilih produk yang terbaik sesuai dengan kebutuhannya.
2.      Adanya kompetisi sehingga dapat menekan harga jual produk kepada konsumen. Tanpa adanya iklan, berarti produk akan dijual dengan cara eksklusif (kompetisisi sangat minimal) dan produsen bisa sangat berkuasa dalam menentukan harga jualnya.
3.      Memberikan subsidi kepada media-massa sehingga masyarakat bisa menikmati media-massa dengan biaya rendah. Hampir seluruh media-massa “hidup” dari iklan (bukan dari penghasilannya atas distribusi media tersebut). Munculnya media-media gratis memperkuat fakta bahwa mereka bisa mencetak dan mendistribusikan media tersebut karena adanya penghasilan dari iklan.

Analisis

             Mengambil contoh iklan rokok yang masih muncul di siang hari padahal siang hari banyak anak-anak yang menonton televisi. Iklan rokok yang memang tidak menunjukkan produk atau barangnya tetapi menunjukkan bahwa itu adalah rokok. Bagi anak-anak yang belum cukup umur akan cepat mengetahui bahwa itu adalah iklan rokok. Lebih baik iklan rokok ditampilkan malam hari ketika anak-anak dibawah umur sudah istirahat.

Senin, 10 Oktober 2016

Analisis CSR pada PT. Freeport


PENDAHULUAN
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya). perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", yakni suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden, tetapi juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih panjang. Dengan pengertian tersebut, CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku kepentingannya.

TEORI
Corporate Social Responsibility
Pengertian Corporate Social Responsibility
         Perusahaan merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat moderen, karena perusahaan merupakan salah satu pusat kegiatan manusia guna memenuhi kehidupannya. Selain itu, perusahaan juga sebagai salah satu sumber pendapatan negara melalui pajak dan wadah tenaga kerja. Menurut Wibisono (2007: 37), perusahaan merupakan lembaga yang secara sadar didirikan untuk melakukan kegiatan yang terus-menerus untuk mendayagunakan sumber daya alam dan sumber daya manusia sehingga menjadi barang dan jasa yang bermanfaat secara ekomonis.
Istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin popular setelah kehadiran buku cannibals with FORKS: The triple Botton Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington mengembangkan 3 komponen penting suistabinable development, yakni economic growth, environment protection dan social equity yang ditugaskan the world Commission On Environmental and development (WCED) dalam brunrtland Report (1987), Elkington mengemas CSR dalam 3 fokus yakni 3P, singkatan dari profit, planet dan people (Wibisono, 2007: 46).
        Perusahaan yang baik tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi belaka (profit) melainkan pula memiliki kepedulian terhadap ketertarikan lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). Secara umum Corporate Social Responsibility merupakan peningkatan kualitas kehidupan mempunyai adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat dinikmati, memanfaatkan serta memelihara lingkungan hidup. Atau dengan kata lain merupakan cara perusahaan mengatur proses usah untuk memproduksi dampak positif pada komonitas atau citra yang baik. Salah satu definisi CSR Asia berbunyi “Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, social dan longkungan serasa menyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholders” (Ruslan: 1999).
           Defenisi dari CSR itu sendiri telah dikemukakan oleh banyak pakar. Di antaranya adalah defenisi yang dikemukan oleh Magnan & Ferrel (dalam Susanto, 2007: 53) yang mendefinisikan CSR sebagai : ”A business acts in socially responsible manner when its decision and actions account for and balance diverse stakeholder interest”. Defenisi ini menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara seimbang terhadap kepentingan berbagai stakeholder yang beragam dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil para pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab.
           Sedangkan Komisi Eropa membuat defenisi yang lebih praktis yang pada dasarnya adalah bagaimana perusahaan yang secara sukarela memberikan kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih (Susanto, 2007: 56). Sedangkan Elkington mengemukakan bahwa sebuah perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada peningkatan kualitas perusahaan (profits); masyarakat, khususnya komunitas sekitar (people); serta lingkungan hidup (planet earth) (Susanto, 2007: 56)
         Philip Kotler (2007: 33), dalam buku CSR: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause, membeberkan beberapa alasan tentang perlunya perusahaan menggelar aktivitas itu. Disebutkannya, CSR bisa membangun positioning merek, mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar, meningkatkan loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional, serta meningkatkan daya tarik korporat di mata investor.
Menurut Godo Tjahjono (2004: 63), CSR memang punya beberapa manfaat yang bisa dikategorikan dalam empat aspek, yaitu: license to operate, sumber daya manusia, retensi, dan produktivitas karyawan. Dari sisi marketing, CSR juga bisa menjadi bagian dari brand differentiation. Kini kita menyaksikan dan mengharap gairah perusahaan-perusahaan raksasa dunia untuk menerapkan program kepedulian sosial. Semoga ini tak hanya jadi sekedar angin segar ditengah kekosongan issu saja, melainkan mampu menjadi virus baik yang menyebar cepat di Indonesia.
Sedangkan menurut Widjaja dan Pratama (2008), setidaknya ada tiga hal pokok yang membentuk pemahama atau konsep mengenai CSR. Ketiga hal tersebut adalah :
  • Bahwa sebagai suatu artiticial person, perusahaan atau korporasi tidaklah berdiri sendiri dan terisolasi, perusahaan atau perseroan tidak dapat menyatakan bahwa mereka tidak memiliki tanggung jawab terhadap keadaan ekonomi , lingkungan maupun sosialnya;
  • Keberadaan (eksistensi) dan keberlangsungan (sustainability) perusahaan atau korporasi sangatlah ditentukan oleh seluruh stake holders-nya dan bukan hanya shareholders-nya. Para stakeholder ini, terdiri dari shareholder, konsumen, pemasok, klien, costumer, karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar dan mereka yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan (the local community and society at large );
  • Melaksanakan CSR berarti juga melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari perusahaan atau korporasi, sebagai wadah untuk memperoleh keuntungan melalui usaha yang dijalankan dan/atau dikelola olehnya. Jadi ini berarti CSR adalah bagian terintegrasi dari kegiatan usaha (business), sehingga CSR berarti juga menjalankan perusahaan atau korporasi untuk memperoleh keuntungan.
Versi lain mengenai defenisi CSR diberikan oleh World Bank. Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai ”the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representative the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.” (yaitu komitmen bisnis dalam memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan bekerjasama dengan para pegawai dan melibatkan komunitas lokal serta masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup, yang mana cara-cara ini baik untuk bisnis dan pembangunan). CSR Forum juga memberikan definisi, “CSR mean open and transparent business practices that are based on ethical values and respect for employees, communities and environment..” (CSR berarti praktek bisnis yang terbuka dan transparan berdasarkan nilai-nilai etis dan penghargaan bagi para pegawai, komunitas dan lingkungan). Sementara sejumlah negara juga mempunyai defenisi tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) mengemukakan bahwa, “CSR adalah suatu konsep dimana perusahaan mengintegrasikan keprihatinan terhadap lingkungan dan sosial terhadap kegiatan bisnis dan interaksi mereka dengan stakeholders mereka berlandaskan dasar sukarela. (Wibisono, 2007 : 8)

Reza Rahman (2009:13) mengemukakan sejumlah unsur yang menjadi tolak ukur CSR, yaitu:
  1. Continuity and Sustainability
Berkelanjutan dan berkesinambungan merupakan unsur vital dari CSR. Suatu kegiatan amal yang berdasar trend ataupun insidential, bukanlah CSR. CSR merupakan hal yang bercirikan long term perspective bukan instant, happening, ataupun booming.  Kegiatannya terencana, sistematis dan dapat di evaluasi. Kegiatan yang dilakukan corporat secara berkesinambungan dan berkelanjutan merupakan salah satu cara untuk mencegah krisis melalui peningkatan corporate image.
  1. Community Empowerment
Pemberdayaan komunitas membedakan CSR dengan kegiatan yang bersifat charity ataupun philantrophy semata. Tindakan-tindakan kedermawanan meskipun membantu komunitas ,tetapi tidak menjadikan mandiri. Salah satu indikasi dari suksesnya sebuah program CSR adalah adanya kemandirian yang lebih pada komunitas,dibandingkan dengan sebelum program CSR hadir.
  1. Two Ways
Proses komunikasi yang dilakukan dalam CSR, merupakan kampanye yang bersinergi dengan tindakan. Pendistribusian informasi mengenai komitmen sosial melalui berbagai sarana, serta kefektifan perusahaan mengkomunikasikan komitmen sosialnya kepada komunitas

Secara umum, Corporate Social Responsibility merupakan peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemamupuan manusia sebagai individu anggota komunitas untuk dapat menggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati serta memanfatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus memelihara, atau dengan kalta lain merupakan cara perusahaan mengtur proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada suatu komunitas, atau merupakan suatu proses yang penting dalam pengaturan biyaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari stakeholders baik secara internal (pekerja, shareholders, dan penanaman modal) maupun eksternal kelembagaan pengaturan umum, angota-anggota komunitas, kelompok komunitas sipil dan perusahaan lain).
Jadi, tanggung jawab perusahaan secara sosial tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor saja, tetapi konsepnya sangat luasdan tidak bersifat statis dan pasif dan statis, hanya dikeluarkan dari perusahaan akan tetapi hak dan kwajibanyang dimiliki bersama antara stakeholders. Konsep Corporate Social Responsibility melibatkan tanggungjawab kemitraan antara pemerinta, lembaga, sumberdaya komunitas, juga komunitas lokal (setempat). Kemitraan ini tidaklah bersifat pasif atau statis. Kemitraan ini merupakan tanggungjawab bersama secara sosial antara stakeholders
Standarisasi Pelaksanaan CSR di Indonesia

Pada tahun 2001, ISO-suatu lembaga internasional dalam perumusan standar atau pedoman, menggagaskan perlunya standar tanggungjawab sosial perusahaan (CSR standard). Setelah mengalami diskusi panjang selama hampir 4 tahun tentang gagasan ini, akhirnya Dewan managemen ISO menetapkan bahwa yang diperlukan adalah Standar Tanggungjawab Sosial atau Social Responcibility Standard (ISO, 2005). CSR merupakan salah satu bagian dari SR. Tidak hanya perusahaan yang perlu terpanggil melakukan SR tetapi semua organisasi, termasuk pemerintah dan LSM.
Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan yang meningkat.
Ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal). Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management).
ANALISIS
Analisis dan pengembangan
Ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam masyarakat telah ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan dan masalah etika. Masalah seperti perusakan lingkungan, perlakuan tidak layak terhadap karyawan, dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidaknyamanan ataupun bahaya bagi konsumen adalah menjadi berita utama surat kabar. Peraturan pemerintah pada beberapa negara mengenai lingkungan hidup dan permasalahan sosial semakin tegas, juga standar dan hukum seringkali dibuat hingga melampaui batas kewenangan negara pembuat peraturan (misalnya peraturan yang dibuat oleh Uni Eropa. Beberapa investor dan perusahaam manajemen investasi telah mulai memperhatikan kebijakan CSR dari Surat perusahaan dalam membuat keputusan investasi mereka, sebuah praktik yang dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab sosial" (socially responsible investing).
Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat for Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan pada masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian beasiswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik di mata komunitas tersebut yang secara langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial di atas.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR bukanlah sekadar kegiatan amal, melainkan CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
"...dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa di atas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat mana pun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama....setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut

Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yaitu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang secara khusus bergerak di bidang "pembangunan berkelanjutan" (sustainable development) yang menyatakan sebagai berikut:

" CSR merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya".
Pelaporan dan pemeriksaan

Untuk menunjukkan bahwa perusahaan adalah warga dunia bisnis yang baik maka perusahaan dapat membuat pelaporan atas dilaksanakannya beberapa standar CSR termasuk dalam hal:

*       Akuntabilitas atas standar AA1000 berdasarkan laporan sesuai standar John Elkington yaitu laporan yang menggunakan dasar triple bottom line (3BL)
*       Global Reporting Initiative, yang mungkin merupakan acuan laporan berkelanjutan yang paling banyak digunakan sebagai standar saat ini.
*       Verite, acuan pemantauan
*       Laporan berdasarkan standar akuntabilitas sosial internasional SA8000
*       Standar manajemen lingkungan berdasarkan ISO 14000
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam aspek sosial. Sementara aspek lingkungan—apalagi aspek ekonomi—memang jauh lebih mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan (sustainability report). Akan tetapi laporan tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu industri yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekadar "pemanis bibir" (suatu basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep CSR dan metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang sekarang terjadi adalah peningkatan kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan (sustainability report) merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku kepentingannya.

Alasan terkait bisnis (business case) untuk CSR

Skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu organisasi dapat berbeda-beda tergantung dari sifat perusahaan tersebut. Banyak pihak berpendapat bahwa amat sulit untuk mengukur kinerja CSR, walaupun sesungguhnya cukup banyak literatur yang memuat tentang cara mengukurnya. Literatur tersebut misalnya metode "Empat belas poin balanced scorecard oleh Deming. Literatur lain misalnya Orlizty, Schmidt, dan Rynes[3] yang menemukan suatu korelasi positif walaupun lemah antara kinerja sosial dan lingkungan hidup dengan kinerja keuangan perusahaan. Kebanyakan penelitian yang mengaitkan antara kinerja CSR (corporate social performance) dengan kinerja finansial perusahaan (corporate financial performance) memang menunjukkan kecenderungan positif, namun kesepakatan mengenai bagaimana CSR diukur belumlah lagi tercapai. Mungkin, kesepakatan para pemangku kepentingan global yang mendefinisikan berbagai subjek inti (core subject) dalam ISO 26000 "Guidance on Social Responsibility"—direncanakan terbit pada September 2010—akan lebih memudahkan perusahaan untuk menurunkan isu-isu di setiap subjek inti dalam standar tersebut menjadi alat ukur keberhasilan CSR.

Hasil Survei "The Millenium Poll on CSR" (1999) yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) di antara 25.000 responden dari 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktik terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan. Sedangkan bagi 40% lainnya, citra perusahaan & brand image-lah yang akan paling memengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen.

Lebih lanjut, sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin "menghukum" (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan tersebut.[4]

Secara umum, alasan terkait bisnis untuk melaksanakan biasanya berkisar satu ataupun lebih dari argumentasi di bawah ini:

Sumberdaya manusia


Program CSR dapat berwujud rekruitmen tenaga kerja dan mempekerjakan masyarakat sekitar. Lebih jauh lagi CSR dapat dipergunakan untuk menarik perhatian para calon pelamar pekerjaan [5], terutama sekali dengan adanya persaingan kerja di antara para lulusan. Akan terjadi peningkatan kemungkinan untuk ditanyakannya kebijakan CSR perusahaan, terutama pada saat perusahaan merekruit tenaga kerja dari lulusan terbaik yang memiliki kesadaran sosial dan lingkungan. Dengan memiliki suatu kebijakan komprehensif atas kinerja sosial dan lingkungan, perusahaan akan bisa menarik calon-calon pekerja yang memiliki nilai-nilai progresif. CSR dapat juga digunakan untuk membentuk suatu atmosfer kerja yang nyaman di antara para staf, terutama apabila mereka dapat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang mereka percayai bisa mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas, baik itu bentuknya "penyisihan gaji", "penggalangan dana" ataupun kesukarelawanan (volunteering) dalam bekerja untuk masyarakat.

Manajemen risiko


Manajemen risiko merupakan salah satu hal paling penting dari strategi perusahaan. Reputasi yang dibentuk dengan susah payah selama bertahun-tahun dapat musnah dalam sekejap melalui insiden seperti skandal korupsi atau tuduhan melakukan perusakan lingkungan hidup. Kejadian-kejadian seperti itu dapat menarik perhatian yang tidak diinginkan dari penguasa, pengadilan, pemerintah dan media massa. Membentuk suatu budaya kerja yang "mengerjakan sesuatu dengan benar", baik itu terkait dengan aspek tata kelola perusahaan, sosial, maupun lingkungan—yang semuanya merupakan komponen CSR—pada perusahaan dapat mengurangi risiko terjadinya hal-hal negatif tersebut.

Membedakan merek


Di tengah hiruk pikuknya pasar maka perusahaan berupaya keras untuk membuat suatu cara penjualan yang unik sehingga dapat membedakan produknya dari para pesaingnya di benak konsumen. CSR dapat berperan untuk menciptakan loyalitas konsumen atas dasar nilai khusus dari etika perusahaan yang juga merupakan nilai yang dianut masyarakat. Menurut Philip Kotler dan Nancy Lee, setidaknya ada dua jenis kegiatan CSR yang bisa mendatangkan keuntungan terhadap merek, yaitu corporate social marketing (CSM) dan cause related marketing (CRM). Pada CSM, perusahaan memilih satu atau beberapa isu—biasanya yang terkait dengan produknya—yang bisa disokong penyebarluasannya di masyarakat, misalnya melalui media campaign. Dengan terus menerus mendukung isu tersebut, maka lama kelamaan konsumen akan mengenali perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang memiliki kepedulian pada isu itu. Segmen tertentu dari masyarakat kemudian akan melakukan pembelian produk perusahaan itu dengan pertimbangan kesamaan perhatian atas isu tersebut. CRM bersifat lebih langsung. Perusahaan menyatakan akan menyumbangkan sejumlah dana tertentu untuk membantu memecahkan masalah sosial atau lingkungan dengan mengaitkannya dengan hasil penjualan produk tertentu atau keuntungan yang mereka peroleh. Biasanya berupa pernyataan rupiah per produk terjual atau proporsi tertentu dari penjualan atau keuntungan. Dengan demikian, segmen konsumen yang ingin menyumbang bagi pemecahan masalah sosial dan atau lingkungan, kemudian tergerak membeli produk tersebut. Mereka merasa bisa berbelanja sekaligus menyumbang. Perusahaan yang bisa mengkampanyekan CSM dan CRM-nya dengan baik akan mendapati produknya lebih banyak dibeli orang, selain juga mendapatkan citra sebagai perusahaan yang peduli pada isu tertentu.

Izin usaha


Perusahaan selalu berupaya agar menghindari gangguan dalam usahanya melalui perpajakan atau peraturan. Dengan melakukan sesuatu 'kebenaran" secara sukarela maka mereka akan dapat meyakinkan pemerintah dan masyarakat luas bahwa mereka sangat serius dalam memperhatikan masalah kesehatan dan keselamatan, diskriminasi atau lingkungan hidup maka dengan demikian mereka dapat menghindari intervensi. Perusahaan yang membuka usaha di luar negara asalnya dapat memastikan bahwa mereka diterima dengan baik selaku warga perusahaan yang baik dengan memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja dan akibat terhadap lingkungan hidup, sehingga dengan demikian keuntungan yang menyolok dan gaji dewan direksinya yang sangat tinggi tidak dipersoalkan.

Motif perselisihan bisnis


Kritik atas CSR akan menyebabkan suatu alasan yang, pada akhirnya, bisnis perusahaan dipersalahkan. Contohnya, ada kepercayaan bahwa program CSR seringkali dilakukan sebagai suatu upaya untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas masalah etika dari bisnis utama perseroan.

TINJAUAN KASUS
             Beberapa permasalahan atau kasus CSR yang melibatkan PT Freeport Indonesia dan dipublikasikan oleh beberapa media di tanah air antara lain:
  1. Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006). Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global. (sumber : https://www.scribd.com/doc/234613592/Pelanggaran-Hukum-Dan-Etika-Bisnis-PT-Freeport-Indonesia)
  2. Keberadaan tambang emas terbesar di dunia yang berada di Papua sama sekali tidak memberikan keuntungan pada masyarakat sekitarnya. Freeport sebagai pengelola hanya ‘menyuap’ masyarakat dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility) atau dana bantuan dan bina lingkungannya. Salah satu anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau Otonomi Khusus Aceh dan Papua, Irene Manibuy mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR. Papua butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk pengelolaan.
“Jangan kami hanya dikasih CSR Rp 1,3 triliun, jangan hanya CSR berdasarkan dividen hanya 1 persen dari pendapatan kotor. Kami butuh share dan mengatur sendiri pembangunan di sana, daerah kami,” ucap Irene dalam rapat bersama pemerintah di DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (5/7).Jika saja pemerintah pusat memperjuangkan hak-hak Papua dalam Freeport maka pemerintah pusat tidak harus pusing memikirkan pembangunan Papua. Papua bisa mandiri dalam membangun daerahnya. “Pemerintah pusat tidak akan berat menghidupi kami,” katanya.

Bukan hanya masalah Freeport, Irene juga menyentil pemerintah pusat yang tidak pernah memperhatikan kesehatan masyarakat di Papua. “Kami di Papua tidak punya rumah sakit rujukan, seperti di sini ada pondok indah, MMC yang berstandar internasional. Jadi orang Papua berobat ke Jakarta dan ini kembali lagi pemasukan untuk Jakarta, dan untuk Papua tidak ada,” tutupnya. (sumber: http://www.merdeka.com/uang/rakyat-papua-butuh-kelola-tambang-bukan-csr-freeport.htm)
  1. Sejak 1967 hingga kini, PT Freeport menikmati hasil kekayaan alam di bumi cenderawasih, Papua. Perusahaan tambang yang berafiliasi ke Freeport-McMoRan yang bermarkas di Amerika Serikat itu tak henti menambang emas, perak, dan tembaga.Selama hampir setengah abad kehadiran Freeport di tanah Papua terus menerus memunculkan pelbagai masalah. Mulai dari setoran ke negara yang dinilai masih sangat rendah, hingga pelbagai alasan menyiasati larangan ekspor bahan mentah.
Permasalahan yang menyangkut Freeport tidak hanya soal setoran ke negara, tapi juga soal ketenagakerjaan dan peran perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat Papua. Sejauh ini, hanya sebagian kecil karyawan Freeport yang berasal dari warga Papua. Hal itu diakui sendiri oleh petinggi Freeport Indonesia.

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto mengatakan, hanya sekitar 30 persen sampai 36 persen pekerjaFreeport yang merupakan warga Papua.”Dari 31.000 pekerja, sekitar 30-36 persen warga Papua,” kata Rozik di Jakarta Convention Center, Rabu (22/1).Diakuinya, Perseroan telah didesak untuk menambah jumlah pekerja yang berasal dari Papua. Setidaknya hingga 45 persen dalam waktu lima tahun ke depan. Desakan tersebut berasal dari Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres).”Seharusnya kata dia 100 persen, bukan 30 persen,” imbuh Rozik.Dia berdalih, Freeport memiliki standar kualitas pekerja yang harus dipenuhi oleh siapapun yang berminat untuk bekerja di Freeport . Rozik beralibi telah memprioritaskan warga setempat untuk menempati posisi pekerja di perusahaan penambang emas dan tembaga tersebut.

Rendahnya peran Freeport pada warga Papua pernah diutarakan oleh salah satu anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau otonomi khusus Aceh dan Papua, Irene Manibuy. Dia mengkritik peran Freeport hanya sebatas CSR saja. Irene mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR dari Freeport . Papua butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk pengelolaan. “Jangan kami hanya dikasih CSR Rp 1,3 triliun, jangan hanya CSR berdasarkan dividen hanya 1 persen dari pendapatan kotor. Kami butuh share dan mengatur sendiri pembangunan di sana, daerah kami,” ucap Irene beberapa waktu lalu. Lembaga swadaya Kontras dua tahun lalu pernah melansir laporan fasilitas pekerja Freeport di lokasi tambang yang sangat memprihatinkan. Misalnya kamar karyawan yang kecil, tapi diisi lima sampai enam orang. Pekerja pun kerap mengeluh, lantaran remunerasi pegawai Indonesia tidak sama dengan sistem yang diterapkan Freeport-McMoRan di AS atau negara lain. Di cabang Freeport lain, upah karyawan berkisar USD 20-230 per jam. Sedangkan di Indonesia, sempat hanya USD 3 per jam. (sumber: http://theglobejournal.com/sosial/csr-freeport-tak-sejahterakan-masyarakat-papua/index.php)